PENITI SI PENARI
Memecah Relung Keangkuhan
Bzz……..
“yuk! Teman-teman kita turun! Sudah
sampai nih,,” ajak Aran dengan semangat pulang. Apalagi kalau karena tak ingin
ketinggalan tayangan film India.
“hmm… sabar dong Ran! Bisnya juga
belum benar-benar berhenti kok! Lagian
kan seharusnya aku, Maia, Aral tak turun di sini! Hanya saja kami setia pada
kawan ya! Mengantarmu sampai rumah, karena kau takut dijaili anak pembeli di
tokomu itu!” jawab Yudha yang kesal pada Aran, sembari menonyo kepala laki-laki India itu.
”Sudah-sudah dek! Sudah sampai.
Yuk-yuk hati-hati turunnya!“ jejal Pak Kondektur yang sedikit berusaha
menghentikan ocehan Aran dan Yudha dan jika tak di hentikan bisa-bisa mereka
berkelahi dan memporak-porandakan bus ini.
***
“Ral, Aral, kau pinjam uang kan
kemarin? Besok bayarin ongkos berangkat ya!” pinta Aran kepadaku.
“Hmmmmm…. Apa-apaan! Dasar ngak modal, ya! Baju compang-camping,
lagaknya sok mau jadi seniman! Hah! ” celetukku yang sedang tidak mempedulikan
Aran.
“iya tuh…. Lihat saja bajunya lusuh
sekali. Hati-hati juga lho, orang
seperti mereka bisa juga hanya sok pura-pura melas. Tapi nyatanya copet. Bahaya
kan,, hemmmm…ngeri tuh!” tambah Yudha.
“Eh…eh… kalian kok malah ngatain aku gitu sih? Eh, Rai! Aku kan Cuma minta kau kembalikan uangku.
Kok malah kalian jadi ngatain aku
copet, compang-camping, dan lusuh sih? Loh? Kita kan rapi-rapi gini? Iya gak? ”
jawab Aran dengan nada tinggi kesal, yang berjalan di balik punggungku dan
Yudha, di sampingnya ada Maia, satu-satunya gadis yang bisa bergabung bersama
kami.
“kalian aneh deh hari ini!
Aduh..duh..kok tambah menarik rambutku sih? Sakit!! Ahh….” Aran cukup kesal/
“Aran, siapa juga yang ngatain kamu?” jawabku singkat/
“Lihat tuh! Di sudut toko emas itu!
(Sambil memutarkan kepala Aran dan menunjukkan jarinya ke arah 2 anak jalanan!”
kata Yudha sedikit kesal pada Aran.
Diam sejenak………..
“Ihh…. Siapa mereka? Pengamen ya? Ya
ampun, pakaiannya itu loh! Mau nyari
apa sih mereka? Siapa juga yang akan menikmati sajian seperti itu. Kampungan
kan?” tambah Maia yang akhirnya angkat bicara setelah sejak tadi ia sibuk memainkan
HPnya.
“Ohh…mereka, pengamen itu!” Aran
garuk-garuk kepala “jadi yang kalian maksud tadi bukan aku ya? hehehe” Aran cengengesan
setelah ngomel padaku.
“IYA!!!” Jawab kami serentak yang
benar-benar kesal dengan Aran yang sering tak nyambung dalam pembicaraan kami. Aku, Yudha, dan Maia cepatkan
langkah kaki meninggalkan Aran. Aran masih saja tampak linglung, bocah aneh!
Aran terus memperhatikan 2 anak jalanan itu, mereka tampak satu arah dengan
Yudha, Maia, dan aku menuju terminal. 2
anak itu hendak mbarang di terminal
ataupun di perempatan. Aran tampak heran “Kok masih ada ya seperti itu di jaman
sekarang? Apakah laku?”
***
Kuikuti Yudha dan Maia yang berjalan
cepat di depanku. Hm, sebenarnya aku tak suka berjalan tergesa-gesa seperti
ini, melelahkan. Namun karena aku juga ingin segara sampai rumah dan aku sangat
takut dengan anak-anak jalanan, entah itu pengamen, berandalan atau apalah. Aku
hanya takut jika tiba-tiba wajah-wajah manis mereka semua saat berubah menjadi
harimau, yang kemudian menerkamku. Terlebih dandanan mereka sebagai penari
jalanan itu sangat menyeramkan . tapi, akan sangat lebih menyeramkan jika
mereka menerkam kami dan merampok barang yang kami bawa. Copet! Ku harap saja
mereka seniman-seniman itu tak seperti yang ada di pikiranku. Ya cukup menaruh
rasa curiga saja untuk mewaspadainya!
Yang selanjutnya aku putarkan sendi
kepalaku, menoleh melihat Aran yang ternyata baru saja membalikkan badannya dan
menenggelamkan punggungnya di tengah debu pasar Parakan. Anehnya………… ia juga
ternyata telah keblabasan. Sebenarnya
istana Aran sudah terlewati 10 langkah dari mana terakhir ia berpijak. Tapi ku
yakin ia tak lupa dengan mozaik India!
Ya
tuhan, sebegininyakah temanku, Aran?
***
“Magelang kota kota kota! Yok!
Penuh-penuh!”
“Ngetan
Buk? Ngulon? Terminal Temanggung yokkkk!!!!”
“Mas ngojek! Pasar kayu ya? 10.000 rupiah cukup kan?”
“Mmmm ya sudah, aku juga sekalian
pulang kok mbakyu!”
Huh! Itulah bisingnya pasar Parakan.
Rasa lelah menyelimutiku, kakiku serasa di borgol. Berat sekali rasanya hendak
melangkah. ditambah matahari dengan
sinarnya yang cerah membara, menyorot kami 3 anak pelajar rantauan. Pelajar yang
jauh dari tempat tinggalnya. Juga riuhnya pembeli dari pasar yang tengah
mencari angkot masing-masing.
“Mai, masukkanlah HP-mu itu! Bisa
bahaya loh! Ini terminal ramai sekali! Gawat kalau anak jalanan menyerobotnya.”
Saranku pada Maia.
“Iya Aral! Aku tahu, tahu, tahu! Ini
juga sedang kumasukkan kok.” Jawab Maia halus.
“Pak, Candiroto?” Tanya Yudha pada
seorang kondektur bis.
“Ya! Ayo dik masuk-masuk! Penuhin bisnya! Penumpangnya lama sekali
ini!” jawab kondektur yang sedang sibuk menawari pada orang yang berlalu
lalang, tapi di antara orang-orang itu tak ada yang lekas naik bisnya. Mereka
hanya lewat.
Naiklah kami di badan besi besar, yang
bertuliskan Citra BSM di bagian depan dan sampingnya. Pengap sekali suasana bis
ini. Matahari masih tampak, cahayanya memantul silau. Mencuri-curi masuk
melalui celah jendela bis yang tampaknya tak bisa dibilang muda lagi usianya.
***
“mana sih para penumpang?
Lama-lama!!! Ahh….” Keluh Yudha sambil mengintip keluar.
“Ya sabar dong Yud! Beginilah
nasib-nasib sekolah kita jauh yang harus naik angkutan berkali-kali dan jaraknya cukup jauh.” Kata Maia.
“Kalau bukan karena emak aku emoh!!”
“Lho kok bawa-bawa emak sih? Nyesel
kamu sekolah? Ha?” sahutku pada Yudha , yang Yudha sendiri sudah tak
mendengarkanku. Yudha berjalan ke arah pintu. DAN……….
“Ibuk-ibuk yok yok yok!! Siapa ngak
naik ketinggalan bis loh! Ini yang terakhir!” teriaknya bagai kondektur pada
umumnya. Tampak pantas rupanya. Yudha menjadi kondektur, yang mungkin juga
pakaiannya akan lebih lusuh dari 2 anak jalanan tadi. HAHAHA!!!!!!!!!
“Yudha! Apa-apaan sih kamu ini! Malu-maluin,
ngapain gelantungan disitu?” komentar
Maia risih pada Yudha.
“Eh. Lho? Aral, ngapain, mau ke mana? Mau
meniru jadi kondektur juga ya?” kesal Maia.
“Maaf aku tak se-edan Yudha! hahaha”
ku jawab Maia sembari mendekati Yudha dan melirik keluar. “Yud, itu kan anak
jalanan tadi ya? Kenapa mereka selalu ada di depan mata kita?”
“Oh ya! Hahaha! Lihat aja tuh
bajunya compang-camping. Jika mereka
hentakkan kakinya ke bumi…krincing…krincing!
Atau perlu aku duduk di sampingnya sambil berteriak TEE-SATEE, 500
TUSUK? 1000 TUSUK? Akankah aku dikira tukang sate? Krincing…krincing!” celoteh Yudha.
“Hmmmmm….Mereka ngapain sih ketawa-ketawa? Kuhampiri ah!” Maia
heran. “Hey….apaan sih Yud kamu
jongkok-jongkok?”
“Ini Mai, dia lagi jadi tukang sate
krincing-krincing!” jawabku.
Maia bersedekap memandang luar. Ia
mengeryitkan dahi. Oh. 2 anak jalanan itu melangkah mendekat, semakin dekat,
dekat ya dekat sampai garis wajahnya tampak jelas. Maia sekarang tahu apa yang
membuat aku dan Yudha terbahak-bahak. Ia menatap sinis pengamen itu.
***
“Dik, ini kita di sebelah bus.
Jangan maju-maju ya! Seperti biasa kakak putar dulu musiknya dan kau dulu yang
menari ” bisik Anggra, gadis dari salah
satu anak jalanan yang ditertawakan kami. Ia berbicara dengan adiknya yang
masih kecil. Seakan memberi aba-aba bahwa adiknya, Cengkur, harus segera mulai
pertunjukan singkat ini. Cengkur masih kecil tapi dia tetap ikut dengan Anggra
mengaisi koin-koin rupiah yang orang lemparkan pada mereka.
Anggra adalah gadis berhati baja,
tahan ampuh hatinya pada cemoohan orang-orang sekitar.
“Mai..Mai.. lihat tuh dia
menari-nari! Krincing…krincing.. benarkan jika aku mengambil sate dagangan Mak
Asih di pasar dan kubawa kesini sembari berteriak tee..sate..! laku gak ya? Hahaha… emh… uhuk-uhuk… ” yudha
membuai lagi, sampai-sampai ia tertelan teriakannya sendiri yang terlalu cepat
masuk ke kerongkongan.
Mereka terbahak-bahak namun Anggra
dan Cengkur masih terus menari di depan kami yang secara frontal
menertawakannya. Panas hati Anggra, di antara derasnya bualan yang mengalir,
serta derasnya keringat Anggra, itu tandannya ia kelelahan.
“Lihat mereka berlagak seperti Zorro
yang berkendara kuda menyelamatkan dunia! Hahaha…”
“Berjingkrak-jingkrak seperti takut
akan kecoa!”
“Ye, merekalah kecoa-kecoa di sini yang
mengganggu kehidupan jalan
“HAHAHA”
Celetuk
kita saling melontarkan kalimat ejekan kepada mereka.
“Ya Tuhan…
entahlah..aku begitu kesal dengan kata-kata mereka. Kuatkan hati Cengkur Tuhan.
Jangan sampai ia memasukkan buaian begudal ke hatinya. Ia takut ia sakit hati
sepertiku. Apa yang kulakukan salah? Pastinya tidak. Kami memang penari jalanan
–kuda lumping- di desa yang kekurangan biaya hidup kau juga tahu kan tuhan? Ke mana
orang tuaku? ” tangis batin Anggra menyangga reruntuhan kesabarannya.
Matahari
mulai ragu menyorot. Senja pun menelan siang. Ditutupnya secara tiba-tiba pintu
BSM tua ini oleh pintu kondekturnya. Ia kesal karena hanya mendapat 1 penumpang
ibu-ibu. Kondektur itu seakan tak mempedulikan 2 seniman jalanan itu pula,
bahkan mengusirnya.
“Eh! Tahukan mereka akan Ganam Style? Mereka tadi seperti
PSY. Memutarkan pecut ke atas. Seperti bangga memenangkan peperangan!”
“HAHAHA”
Kami terbahak-bahak setiap ejekan yang kami lontarkan.
Bahkan kami, menggaung-menggema di sudut ruang BSM tua ini.
***
“Sebel ya kak?” Tanya Cengkur.
“Hmmmm” Anggra hanya berdehem, menarik Cengkur dengan
tangan kanannya. Karena tangan kirinya memanggul tape andalannya yang berkarat
di bagian tertentu dan kadang ngadat.
Cengkur hanya mengikuti kakaknya sedih.
***
Matahari pagi ini
tampak enggan memancarkan sinarnya, tapi kami para pelajar tak boleh enggan ke
sekolah. Masih sepi, di koridor sekolah aku kembalikan uang Aran yang kemarin
aku pinjam.
“Nih Ran”
“Mmm… gitu dong Ral. Makasih
ya!”
“hm! Gimana
film india kemarin?”
“Seru lah ya! Sayang, nanti aku tak bisa menonton,
mengingat ada tambahan pelajaran sore ini kan? ”
***
KRINGGGGGGGG…….KKKKKKRRRRRRIIIIINNNNNGGGGGGGGG….
Bel tanda pulang bordering menyudut diantara ruang kelas.
Sial, Yudha dan Maia udah pulang dulu. Karena mereka malah menyangka bahwa aku
telah meninggalkannya.
Seperti biasa ku antar Aran dulu ke pasar Parakan, dengan
bis Langkah Baru yang begitu cepat. Tapi langit tampak berbeda, gulita! Cumulus
keabu-abuan terpampang berkuasa di atas
terminal itu. Setelah Aran sampai rumahnya, aku berjalan sendiri ke terminal.
“Ahh…..lapar sekali! Sendiri lagi!” keluhku.
Perutku keroncongan, sejak tambahan tadi aku belum makan
secuil makanan pun. Dingin merasuk melalui ubun-ubun, tersengal aku berjalan
menuju salah satu warteg yang berjajar di terminal.
“Bu, telor ayam sama oseng kangkung ya! Jeruk anget juga”
Di luar sana kulihat banyak seniman jalanan yang masih
beraksi dicengkeram dingin dan angin sekalipun. Banyak juga yang memakai kostum
seperti pengamen yang kemarin aku ejek. Hmmm, tak ku hiraukan. Aku hanya ingin
cepat-cepat makan dan mengejar BSM. Di belakangku ada pria berkumis: segar!!!
Sedikit takut gemetar, tapi kuacuhkan, dan aku sadar ada pengamen yang kemarin
kuejek ada di warteg itu juga. Dia mengamatiku sembari memanggil adiknya. Aku
mulai curiga.
Kutinggalkan warteg setelah kubayar semuanya.
Terkoncar-kancir diriku sambil mengejar BSM. Sayang, sopirnya tak dengar
kupanggil. Ku lirik ke belakang 2 anak jalanan itu masih mengikutiku.
GLUDUL GLUDUK!!!! JEDDDDDDDERRRRRRR!!!
Petir menyambar-nyambar, hujan tiba-tiba mengguyur
terminal itu. Terjebaklah diriku di tengah terminal yang riuh orang
berbondong-bondong mencari tempat berteduh. Berlarilah diriku ke halte terdekat
saat itu. Hanya halte itulah yang bisa aku pakai untuk berteduh, tempat lain
seperti emperan toko dan warteg sudah penuh dengan gerombolan orang-orang
terminal.
“Hmm, mereka kok masih mengikutiku? Apa jangan-jangan
mereka tak terima kuejek kemarin?”
’’ Heh… ngapain kalian di belakangku? Kalian pengamen
jalanan yang kampungan itu kan?” bentakku menghilangkan rasa takut sebenarnya.
“emm, Cengkur hendak bicara padaku, tapi Anggra menutup
mulutnya!”
“Jawab dong! Diam saja! Apa benar dugaanku ya? Jujur saja
kalian ingin mencopet kan? Hahaha….
Tampak dari wajah kalian adalah orang mencurigakan!” celotehku pada Aran dan Cengkur.
“Heh kak! Tahu tidak? Tadi di warteg tas kakak disayat
oleh pria berkumis. Ia. Ia hendak mencuri tas kakak. Dan ini peniti kecil
kakakku melepas dari kostumnya untuk menutupi lubang pada tasmu!” jawab Cengkur
sedikit emosi. “Kakakku bisu. Jadi ia bingung bagaimana mengatakannya padamu!”
Aku hanya terpaku diam. Aku merasa sangat malu. Ingin
mukaku kututup dengan kolor. Ternyata niat mereka baik, aku salah, telah
berburuk sangka dengan mereka. Akhirnya Anggra memasangkan beberapa peniti di
tasku. Saat ia memasangkan satu persatu peniti, relung keangkuhanku akan kepedulian
budaya bangsa menjadi runtuh.
***
Cengkur menceritakan banyak tentang kuda lumping padaku.
Anggra tersenyum melihat aku
memperhatikan cerita Anggra dari awal, dan aku balas senyuman manis Anggra.
Tersadar aku tidak memandang seorang dari penampilan, tapi dari lubuk hati…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar