Selasa, 07 April 2015

CERPEN MENJEMPUT MIMPI

MENJEMPUT MIMPI

Karya: Rizki Yulia Astuti

 

Malam kelam tak berbintang. Aku hanya ditemani sebatang lilin yang menyala menyinariku mala mini. Dua hari yang lalu aku masih bisa belajar dengan lampu kecil pojok kamarku. Hari ini, lampu rumahku padam. Karena ayah dan ibuku tak membayar uang listrik. Karena itu aku membantu meringankan beban orang tuaku. Tapi apa, aku hanya gadis kecil yang sekolah di desa seberang sana. Sekolahku memang bukan sekolah favorit, tapi aku bersikeras menjadi orang sukses nantinya.

“Tari……..” suara lembut ku dengar dari pintu kamar. Suara lembut yang setiap hari aku dengar, yang menjadikan hatiku seakan tenang mendengarnya.

“ada apa bu?” jawabku

“kok belum tidur?” Tanya Ibu

Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan ibu. Ibu menghampiriku dengan membawa segelas air putih bening sebening matannya. Ibu sangat mengerti perasaanku, ia adalah ibu paling baik. Mungkin keluargaku miskin, tapi aku sangat bahagia karena ayah, ibu, dan adikku sangat menyayangiku.

Malam telah berlalu, matahari telah menggantikan bulan yang menyinariku malam ini. Suara jangkrik berganti menjadi suara ayam jago milik Pak Yono yang menggetarkan dada. Aku beranjak dari tidurku dan bergegas mandi ke sungai bersama adik perempuanku.

“Selamat pagi Tari…..” teriak seorang laki-laki berkaus putih

“selamat pagi Adi” balasku

“Lho kok kamu belum mandi?” tanyanya

“oh… aku baru mencuci baju, seperti biasa”

“Iya… aku lupa. hehehe” gurau Adi

Sandal milik adikku aku letakkan di samping batu besar di seberang sungai. Saat aku selesai mandi, adikku menangis melihat sendalnya terbawa arus sungai yang tak begitu deras. Aku langsung mengejar sandal milik adik. Terus…terus…dan terus mengejarnya. Kebetulan sendalnya tersangkut ranting di samping sungai. Aku sangat laga. Tongkat kayu kuambil untuk mengambil sandal adik.

“Aduh!!!” teriakku . tanganku tertancap duri bunga mawar merah menyala. Rasa sakit tak lagi kurasakan, yang ada di benakku hanya sandal kuning menyala.

Akhirnya sandal kuraih. Tapi darah masih saja keluar seakan air sungai yang terus mengalir. Sampai di rumah aku melihat nasi dengan lauk ikan asin menghiasi meja makan pagi itu.

“Tari makan dulu. Kalau sudah makan minum air putih di cangkir hijau milik ayah”

“baik ayah…” aku senyum sambil meletakkan handuk di kursi bambu.

Tak seperti biasanya, aku bisa makan dengan lauk ikan asin. Biasanya aku makan dengan kerupuk. Bahkan terkadang aku tidak makan karena tak sebutir beras pun untuk dimasak. Ayah hanya bekerja sebagai buruh tani yang tak cukup menghidupi kami sekeluarga. Sedangkan ibu, hanya menjual ketela pohon yang digoreng. Adikku…Nana hanya bisa menemani ibu berjualan di sekitar kampung tempat kami tinggal.

Sekolahku memang jauh dari kampung tempat aku tinggal. Kira-kira 2,5 km. tapi aku dan teman-teman memilih untuk jalan kaki karena uang jajan yang hanya untuk membeli tempe dan jajanan lainnya. Pernah suatu hari aku dan temanku bersepeda untuk sampai ke sekolah. Tapi sepedaku rusak karena remnya tak berfungsi. Padahal jalannya tanjakkan, liku-liku, dan lainnya.

“Kenapa tanganmu?” Tanya Dhina

“Iya… kok berdarah?” Tanya Mia

“Tadi pagi tanganku tertancap duri”

Loh kok bisa?”

“sakit ngak?”

Semua pertanyaan kujawab panjang lebar.

Sampai di sekolah, suasana sudah ramai dipenuhi olah teman-teman. Pelajaran dimulai tepat pukul 07.30. aku senang, aku sekarang kelas VIII semester 2. Karena kelas 9 sudah mendekati UN, maka kelas 7 dan 8 sering diliburkan. Jam 13.30 sudah tiba waktu pulang. Aku ingin cepat sampai rumah untuk melepas penatku seharian ini. Suasana sekolah yang ramai, kini beranjak sepi. Semua murid sudah pulang.

Saat aku beranjak dari sekolah, aku dikejutkan oleh laki-laki separuh baya memanggilku.

“Tari, sebentar ada yang mau kusampaikan kepadamu”

Aku berhenti sejenak untuk mendengarkan apa yang beliau ingin sampaikan.

“ada lomba lari Tar”

“Bapak mohon kamu ikut ya”

Aku merenung sejenak memikirkan sesuatu, bukan ayah, ibu, adik atau temanku melainkan sepatu. Aku memang senang olahraga. Tetapi, apabila mungkin aku ikut lomba ini. Pasti semua akan mengejekku ketika melihat sepatu jelek ini.

“ lho kok malah bengong? ”

“e…eh… iya pak, maaf”

“bagaimana? Apakah kamu mau?” Tanya Pak Rudi

Aku mengangguk, tanda aku menyetujui. Tetapi masih saja di dalam benakku terbersit sepatu jelek yang membayangi hariku.

Sampai di rumah, aku mengadukan apa yang kupikirkan kepada ibu. Ibu hanya tersenyum.

“Ibu, terus bagaimana?”

“jangan khawatir. Kemenangan itu bukan karena bagus jeleknya sepatu. Tapi karena perjuangan”

Aku menangis mendengar kata ibu yang merasuk ke dalam hatiku yang paling dalam. Aku mengerti, tapi aku masih saja malu pada sepatuku satu-satunya. Tiba-tiba aku mendapat ide yang bisa menutupi rasa maluku. Aku berpikir jika aku menjual ketela pohon di sekolah, apa bisa laku?

Aku mencoba memberanikan diri untuk berkata kepada ibu akan niatku menjual ketela goring di sekolah. Awalnya ibu mengelak, bukannya tak boleh tapi ibu kasihan kepadaku. Ibu tak mau anaknya malu karena berjualan ketela goreng di sekolah.

“ayolah bu!!!” rengekku. Aku memang sangat ingin ibu mengizinkan aku berjualan ketela di sekolah. Aku sangat senang mendengar kata ibu.

Hari ini aku berangkat sekolah dengan membawa bekal ketela pohon yang sering dijual ibu.

“bawa apa kamu Tar?” Tanya Tia

“Aku bawa ketela, mau beli?”

hahaha… hari gini makan ketela… gak level” kata Edo

“eh jangan begitu,… ketela itu enak loh…” jawab Tia

udah… jangan berantem. Yang jualan aja nggak gimana-gimana kok!” teriak Dina

Saat istirahat terakhir ketela gorengku belum juga habis. Hanya Tia yang membeli ketela gorengku tadi pagi. Bel pulang sekolah berbunyi. Aku kembali membawa jualanku. Lomba lari kurang 2 hari lagi. Mungkin harapanku untuk membeli sepatu baru tak akan tercapai. Besok pada saat perlombaan aku pasti sangat malu. Tapi, aku jadi teringat kata ibu tadi malam.

2 hari telah berlalu, kini saatnya aku berjuang mengikuti lomba lari di lapangan setempat. Aku berpamitan kepada 2 orang tuaku untuk lomba nanti.

“ayah, ibu… aku pamit untuk mengikuti lomba nanti”

Ibu menangis mendengar perkataanku.

“kenapa menangis?”

“ayah minta maaf, tak bisa membelikanmu sepatu baru”

“tak apa yah, Tari ngerti kok”

Aku akan berjuang tanpa sepatu baru. Tapi, aku akan berjuang semampuku. Dengan penuh semangat, aku menjemput mimpiku menjadi pelari terbaik.

”HEH…” teriak seorang temanku menepuk pundakku.

“ kerjaannya melamun terus”

Hilang semua lamunanku ketika temanku berkata begitu/

hehehe…..”

mikirin apa sih?”

“oh…. Tadi aku mikirin perjuanganku saat aku masih duduk di kelas 8”

Semua kenangan itu, tak akan kulupakan sepanjang hidupku. Perjuangan menjemput mimpi. Sekarang, aku telah menjadi pelari karena aku berani, bukan karena aku ini kaya. Aku percaya, semua keinginan bisa kuraih, dengan perjuangan.

1 komentar: