MENJEMPUT MIMPI
Karya: Rizki Yulia Astuti
Malam kelam tak berbintang. Aku hanya ditemani sebatang
lilin yang menyala menyinariku mala mini. Dua hari yang lalu aku masih bisa
belajar dengan lampu kecil pojok kamarku. Hari ini, lampu rumahku padam. Karena
ayah dan ibuku tak membayar uang listrik. Karena itu aku membantu meringankan
beban orang tuaku. Tapi apa, aku hanya
gadis kecil yang sekolah di desa seberang sana. Sekolahku memang bukan sekolah
favorit, tapi aku bersikeras menjadi orang sukses nantinya.
“Tari……..” suara
lembut ku dengar dari pintu kamar. Suara lembut yang setiap hari aku dengar, yang
menjadikan hatiku seakan tenang mendengarnya.
“ada apa bu?” jawabku
“kok belum tidur?” Tanya Ibu
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan ibu. Ibu
menghampiriku dengan membawa segelas air putih bening sebening matannya. Ibu
sangat mengerti perasaanku, ia adalah ibu paling baik. Mungkin keluargaku
miskin, tapi aku sangat bahagia karena ayah, ibu, dan adikku sangat menyayangiku.
Malam telah berlalu, matahari telah menggantikan bulan yang
menyinariku malam ini. Suara jangkrik berganti menjadi suara ayam jago milik
Pak Yono yang menggetarkan dada. Aku beranjak dari
tidurku dan bergegas mandi ke sungai bersama adik perempuanku.
“Selamat pagi Tari…..” teriak seorang laki-laki berkaus
putih
“selamat pagi Adi” balasku
“Lho kok kamu belum mandi?” tanyanya
“oh… aku baru mencuci baju, seperti biasa”
“Iya… aku lupa. hehehe” gurau Adi
Sandal milik adikku aku letakkan di samping batu besar di
seberang sungai. Saat aku selesai mandi, adikku menangis melihat sendalnya terbawa arus sungai yang tak begitu deras. Aku
langsung mengejar sandal milik adik. Terus…terus…dan terus mengejarnya. Kebetulan
sendalnya tersangkut ranting di samping sungai. Aku
sangat laga. Tongkat kayu kuambil untuk mengambil sandal adik.
“Aduh!!!” teriakku . tanganku tertancap duri bunga mawar
merah menyala. Rasa sakit tak lagi kurasakan, yang ada di benakku hanya sandal kuning
menyala.
Akhirnya sandal kuraih. Tapi darah masih saja keluar
seakan air sungai yang terus mengalir.
Sampai di rumah aku melihat nasi dengan lauk ikan asin menghiasi meja
makan pagi itu.
“Tari makan dulu. Kalau sudah makan minum air putih di
cangkir hijau milik ayah”
“baik ayah…” aku senyum
sambil meletakkan handuk di kursi bambu.
Tak seperti biasanya, aku bisa makan dengan lauk ikan
asin. Biasanya aku makan dengan kerupuk.
Bahkan terkadang aku tidak makan karena tak sebutir beras pun untuk dimasak. Ayah
hanya bekerja sebagai buruh tani yang tak cukup menghidupi kami sekeluarga.
Sedangkan ibu, hanya menjual ketela pohon yang digoreng. Adikku…Nana hanya bisa menemani ibu berjualan di sekitar kampung
tempat kami tinggal.
Sekolahku memang jauh dari kampung tempat aku tinggal.
Kira-kira 2,5 km. tapi aku dan teman-teman memilih untuk jalan kaki karena uang
jajan yang hanya untuk membeli tempe dan jajanan lainnya. Pernah suatu hari aku dan temanku bersepeda untuk sampai ke
sekolah. Tapi sepedaku rusak karena remnya tak berfungsi. Padahal jalannya
tanjakkan, liku-liku, dan lainnya.
“Kenapa tanganmu?” Tanya Dhina
“Iya… kok berdarah?” Tanya Mia
“Tadi pagi tanganku tertancap duri”
“Loh kok bisa?”
“sakit ngak?”
Semua pertanyaan kujawab panjang lebar.
Sampai di sekolah, suasana sudah ramai dipenuhi olah
teman-teman. Pelajaran dimulai tepat pukul 07.30. aku senang, aku sekarang
kelas VIII semester 2. Karena kelas 9 sudah mendekati UN, maka kelas 7 dan 8
sering diliburkan. Jam 13.30 sudah tiba waktu pulang. Aku ingin cepat sampai
rumah untuk melepas penatku seharian ini. Suasana sekolah yang ramai, kini
beranjak sepi. Semua murid sudah pulang.
Saat aku beranjak dari sekolah, aku dikejutkan oleh
laki-laki separuh baya memanggilku.
“Tari, sebentar ada yang mau kusampaikan kepadamu”
Aku berhenti sejenak untuk mendengarkan apa yang beliau
ingin sampaikan.
“ada lomba lari Tar”
“Bapak mohon kamu ikut ya”
Aku merenung sejenak memikirkan sesuatu, bukan ayah, ibu,
adik atau temanku melainkan sepatu. Aku memang senang olahraga. Tetapi, apabila mungkin aku ikut lomba ini.
Pasti semua akan mengejekku ketika melihat sepatu jelek ini.
“ lho kok malah bengong? ”
“e…eh… iya pak, maaf”
“bagaimana? Apakah kamu mau?” Tanya Pak Rudi
Aku mengangguk, tanda aku menyetujui. Tetapi masih saja
di dalam benakku terbersit sepatu jelek yang
membayangi hariku.
Sampai di rumah, aku mengadukan apa yang kupikirkan
kepada ibu. Ibu hanya tersenyum.
“Ibu, terus bagaimana?”
“jangan khawatir. Kemenangan itu bukan karena bagus
jeleknya sepatu. Tapi karena perjuangan”
Aku menangis mendengar kata ibu yang merasuk ke dalam
hatiku yang paling dalam. Aku mengerti, tapi aku masih saja malu pada sepatuku
satu-satunya. Tiba-tiba aku mendapat ide yang bisa menutupi rasa maluku. Aku berpikir jika aku menjual ketela pohon di
sekolah, apa bisa laku?
Aku mencoba memberanikan diri untuk berkata kepada ibu
akan niatku menjual ketela goring di sekolah. Awalnya
ibu mengelak, bukannya tak boleh tapi ibu kasihan kepadaku. Ibu tak mau anaknya
malu karena berjualan ketela goreng di sekolah.
“ayolah bu!!!”
rengekku. Aku memang sangat ingin ibu mengizinkan aku berjualan ketela di
sekolah. Aku sangat senang mendengar kata ibu.
Hari ini aku berangkat sekolah dengan membawa bekal
ketela pohon yang sering dijual ibu.
“bawa apa kamu Tar?” Tanya Tia
“Aku bawa ketela, mau beli?”
“hahaha… hari gini makan ketela… gak level”
kata Edo
“eh jangan begitu,… ketela itu enak loh…”
jawab Tia
“udah… jangan berantem. Yang jualan aja nggak gimana-gimana kok!” teriak Dina
Saat istirahat terakhir ketela gorengku belum juga habis.
Hanya Tia yang membeli ketela gorengku tadi pagi. Bel
pulang sekolah berbunyi. Aku kembali membawa jualanku. Lomba lari kurang 2 hari lagi. Mungkin
harapanku untuk membeli sepatu baru tak akan tercapai. Besok pada saat perlombaan aku pasti sangat
malu. Tapi, aku jadi teringat kata ibu tadi malam.
2 hari telah berlalu, kini saatnya aku berjuang mengikuti
lomba lari di lapangan setempat. Aku berpamitan kepada 2 orang tuaku untuk
lomba nanti.
“ayah, ibu… aku pamit untuk mengikuti lomba nanti”
Ibu menangis mendengar perkataanku.
“kenapa menangis?”
“ayah minta maaf, tak bisa membelikanmu sepatu baru”
“tak apa yah, Tari ngerti kok”
Aku akan berjuang tanpa sepatu baru. Tapi, aku akan
berjuang semampuku. Dengan penuh semangat, aku menjemput mimpiku menjadi pelari
terbaik.
”HEH…” teriak seorang temanku menepuk pundakku.
“ kerjaannya melamun terus”
Hilang semua lamunanku ketika temanku berkata begitu/
“hehehe…..”
“mikirin apa sih?”
“oh…. Tadi aku mikirin
perjuanganku saat aku masih duduk di kelas 8”
Semua kenangan itu, tak akan kulupakan sepanjang hidupku.
Perjuangan menjemput mimpi. Sekarang, aku telah menjadi pelari karena aku
berani, bukan karena aku ini kaya. Aku percaya, semua keinginan bisa kuraih,
dengan perjuangan.
Cerpen sangat bagus, tingkatkan kemampuanmu
BalasHapus