Selasa, 07 April 2015

CERPEN NEGERI PIYAH

NEGERI PIYAH

Karya: Sabrina Putri Aryana

 

Ayam jago berkokok dengan lantangnya memecah keheningan pagi hari. Piyah terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia menatap kearah jam dinding yang menunjukkan pukul 04.15.

“Sebentar lagi subuh” gumam Piyah

Ia turun dari ranjang dan merapikan tempat tidurnya. Piyah keluar dari kamar, dilihatnya ibu sedang sibuk memasak di dapur, lebih tepatnya PAWON.

“ibu masak apa?” Tanya Piyah dan mendekat ke arah ibunya.

“masak sayur sama nasi” jawab ibu tanpa berpaling kearah Piyah.

Piyah berjalan ke kamar mandi yang terletak di luar rumah. Brrr…… udara pagi dingin sekali. Piyah menatap langit.

“Alhamdulillah, kelihatannya hari ini akan cerah” batin Piyah.

Ia tak perlu memasukan sepatunya ke dalam kantong plastik bila turun hujan. Karena Piyah hanya mempunyai sepasang sepatu.

Piyah mengambil air untuk wudhu.

Piyah…..ayo cepet! Nanti keburu ikomat” teriak ibu dari dalam. Piyah langsung bergegas.

Allahuakhbar…” ucap Pak Haji yang biasanya menjadi imam di langgarnya.

“Assalamualaikum warrahmatullahassalamualaikum warrahmatullah…”

Mereka melaksanakan shalat subuh dengan khusyuk.

Seusai shalat subuh, Piyah langsung mandi. Udara masih tetap dingin, air yang mengalir dari mata airpun terasa seperti air es. Brrrr……. Dingin,

Setelah mandi Piyah langsung sarapan. Ia makan dengan lahapnya walau hanya dengan tempe goreng, tetapi tetap nikmat.

Piyah….Piyah…” panggil teman-teman Piyah dari luar rumah.

“Iya sebentar…” jawab Piyah.

Piyah langsung berlari ke kamarnya untuk mengambil tas, lalu berpamitan dengan bapak dan ibunya.

“Pak…BukPiyah pamit mau berangkat sekolah. assalamualaikum

“Ya, hati-hati! Waalaikum salam” jawab Bapak dan Ibu bersama.

Piyah berlari kearah teman-temannya yang menunggu di depan rumahnya.

Mereka berjalan dengan riang dan lincah dijalan yang tersusun dari batu-batu. Mereka menyebutnya “DALAN GULA KACANG”.

Di samping jalan terdapat pepohonan yang rindang dan tinggi menjulang ke angkasa. Membuat indah pemandangan.

Jalan gula kacang telah mereka tempuh. Kini saatnya mendaki dan menuruni bukit yang terjal. Piyah dan teman-temannya bernyanyi dengan riang membuat lelah tak dirasa. Inilah perjuangan Piyah dan teman-temannya untuk menuntut ilmu.

Tak terasa Piyah dan teman-temannya hampir sampai di sekolah. Dari kejauhan, tampak verdiri dengan gagahnya tiang bendera dengan bendera yang berkibar di atas sana dengan indahnya. Piyah menatap langit yang berubah menjadi mendung.

“semoga saja hari ini tidak turun hujan” batin Piyah.

Lalu ia melanjutkan langkahnya ke halaman sekolah. Piyah menghela napas dengan perasaan nelangsa. Sekolah yang terdapat retakan di dinding banyak sekali. Cat yang warna aslinya sudah tak terlihat. Di sinilah Piyah bersekolah.

Piyah dan teman-temannya masuk ke dalam kelas masing-masing. Piyah duduk di kursinya yang sudah agak rapuh sambil memandang kelasnya yang menyedihkan.

Atap yang berlubang, tembok yang catnya pudar, dan terdapat retakan di mana-mana, papan tulis berlubang, lantai plasteran dan banyak yang rusak. Inilah kelas mereka.

Tapi ada satu kelas yang masih lumayan bagus. Yaitu kelas 6. Sekolah ini hanya memiliki 2 guru untuk 6 kelas.

Pak Mus masuk kelas dan langsung menyuruh mereka mengerjakan tugas.

“Anak-anak… buka buku paketnya! Kerjakan halaman 20, nomor 1-5” Pak Mus langsung meninggalkan kelas.

Tak lama kemudian, selang 5 menit Pak Mus keluar dari kelas, hujan turun dengan derasnya. Atap mereka yang berlubang membuat air yang dengan mudahnya. Buku mereka menjadi basah terkena air hujan.

Pak Mus datang dan menyuruh mereka mengungsi ke kelas enam yang atapnya tidak bocor. Di kelas 6 ternyata sedang dilatih bernyanyi lagu ‘Sorak-Sorak Bergembira’ untuk ujian praktik SBK. Akhirnya, Pak Mus menyuruh mereka semua bernyanyi bersama.

“sorak-sorak bergembira… bergembira semua…”

Piyah tersenyum senang melihat kejadian hari ini. Meski dengan keadaan yang serba terbatas, mereka tetap gembira dan bersemangat.

Hingga siang hari tiba. Hujan belum berhenti juga. Tetapi, Piyah dan teman-temannya harus pulang. Akhirnya, Piyah mengeluarkan kantong plastik dari dalam tasnya. Ia melepas sepatunya dan ia masukan ke dalam kantong plastik tersebut.

Piyah, kok dilepas to?” Tanya Siti bingung

Lha nggak papa to!” jawab Piyah lalu tersenyum

Lha nanti kalau kakimu kenapa-napa bagaimana?” siti bertanya kembali

Siti….Siti…. lha aku Cuma punya sepatu ini! Satu-satunya” Piyah tersenyum sambil memperlihatkan sepatunya yang sudah di dalam kantong.

Piyah…..Piyah…..” Siti hanya bisa menggeleng-geleng kepala

Piyah dan teman-temannya pulang dengan kaki telanjang. Hujan masih turun tapi tak sederas tadi.

Mereka harus berhati-hati saat berjalan di bukit yang terjal. Piyah meringis menahan sakit tiap tidak sengaja menginjak batu-batu kecil yang menancap di jalan itu.

Setelah mereka tiba di jalan gula kacang, mereka langsung mengaduh-aduh kesakitan, termasuk Piyah.

Piyah dan teman-temannya berpisah saat hujan bertambah deras. Piah menaikkan roknya agar ia bisa berlari dan cepat sampai rumahnya. Piyah menaiki tangga yang terbuat dari tangga dengan lincah.

AssalamualaikumPiyah membuka pintu rumahnya dan langsung masuk.

Waalaikumsalam… aduh, kehujanan ya. Ganti baju dulu sana!” ucap ibu yang sedang sibuk di pawon.

Piah berganti pakaian. Ia kemudian duduk di depan tungku yang apinya menyala/ sekarang piyah jauh lebih hangat dari sebelumnya. Di luar sana petir menyambar-nyambar, hujan semakin deras.

Tiba-tiba hidung Piyah mencium aroma yang enak. Ia melirik ke arah bapak dan ibunya yang tengah menyantap ubi rebus hasil panen sendiri. Piyah tersenyum. Ia bangkit ke arah bapak dan ibunya untuk bergabung menikmati ubi rebus yang masih hangat.

Saat sedang menikmati ubi rebus, terdengar suara pintu di ketuk.

Tok……tok……….tok………..

“Pak…..pak….buka pak….” Teriak seseorang dari luar.

Bapak bangkit dari kursi diikuti ibu. Bapak membuka pintu rumah. Piyah heran, malam-malam yang dingin dan hujan yang deras ini siapa sih yang bertamu.

“Pak, sekolah anak-anak ambruk” ucap seseorang itu dengan nada panik.

“lantas bagaimana?” Tanya bapak bingung

“Begini, bapak ikut saya ke rumah Pak Kades untuk merundingkan persoalan ini” jelas seseorang itu yang ternyata Lek (paman) Yanto.

“ayo pak! Langsung saja. Ibu ikut” ucap ibu yang dari tadi memperhatikan dengan serius.

Piyah juga” seru Piyah

Akhirnya mereka berempat berjalan bersama menuju rumah Pak Kades.

Di rumah Pak Kades ternyata sudah banyak orang. Piyah juga melihat teman-temannya.

Piyah! Sini!” seru Mamat pada Piyah

Piyah bergabung dan ikut menonton televisi bersama. Sedangkan para orang tua di ruang tamu. Piyah dan teman-teman menonton berita di sekilat info. Di sana, ditayangkan tawuran antar desa, pengusaha yang menimbun bawang, pejabat yang punya rumah di mana-mana, juga yang lainnya.

Piyah bergidig merinding membayangkan pejabat yang rumahnya banyak, di mana-mana. Memangnya satu rumah dihuni berapa orang sih? Piyah juga membayangkan kalau pejabat mau menyumbangkan satu rumahnya untuk pengganti sekolah mereka yang ambruk. Pasti teman-teman akan senang sekali.

Piyah melirik ke arah ruang tamu. Di sana orang tua Nampak serius.

Esok harinya, setelah sholat subuh, Piyah melihat ibu sedang sibuk di pawon. Ia mendekati ibunya.

“Masak apa buk?” Tanya Piyah penasaran

Ngrebus air untuk minum bapak-bapak nanti” jawab ibu sambil meniup-niup api di tungku.

Piyah, bapak, dan ibu berjalan besama warga yang lain yang akan bergotong royong membabangun kembali sekolah itu.

Setibanya di sekolah, Piyah menatap sedih. Kursi-kursi dan meja-meja tertimbun bangunan yang roboh.

Bapak-bapak sudah datang dengan sigapnya mengangkat batu dan reruntuhan tembok.

Tiba-tiba Piyah dicolek bahunya dari belakang. Piyah membalikkan badannya. Di depan Piyah berdiri 2 orang. Yang satu mas-mas dan yang satu mbak-mbak.

Yang satu memegang alat yang sering digunakan untuk mensyuting di tv-tv ini, dan yang satunya memegang Mic.

Adek? Adek sekolah di sini? Tahu nggak kenapa sekolah ambruk? Sedih nggak?” mbak-mbak itu bertanya banyak sekali.

Piyah hanya menjawab ‘Iya dan Tidak’ sambil terus tersenyum. Piyah berharap ia akan masuk tv seperti para artis-artis.

Keesokan harinya yang mensyuting tampak banyak. Banyak juga mobil-mobil berplat merah datang. Katanya sih mereka pejabat.

Beberapa orang yang mensyuting ikut membagikan makanan dan minuman untuk para bapak-bapak yang membangun sekolah.

Piyah melihat ada beberapa orang yang baru ia lihat di sana. Ia lihat Pak Haji yang biasa menjadi imam sedang menggotong sak semen bersama orang bermata sipit, bertubuh gendut, dan berkulit putih. Kelihatannya dia orang China, kata Lek Yanto namanya Koh Lei, pemilik kebun kopi yang luas.

Piyah juga melihat orang berbadan tegap sedang mengangkat batu bata. Sepertinya polisi, di bajunya juga bertuliskan ‘POLISI SEKTOR’.

“ternyata polisi…” gumam Piyah sambil memanggut-manggut

Piyah terenung, ternyata yang ia lihat di tv kemarin tidak benar.

Katanya polisi sering bentrok dengan warga, buktinya ia lihat polisi sedang gotong royong dengan warga.

Katanya DPR punya rumah di mana-mana, buktinya ikut membangun sekolah dengan warga.

Piyah memejamkan mata dan tersenyum. Terdengar suara orang bergotong-royong, suara tawa riang, thongleret yang bergema……….

Ahh,……. Indahnya Indonesiaku” gumam Piyah

Piyah teringat lagu yang dihafalkan 2 hari sebelum sekolahnya ambruk. Ia bernyanyi lirih

“TANAH AIRKU TIDAK KULUPAKAN…….KAU TERKENANG SELAMA HIDUPKU….”

Di desanya, Piyah melihat Indonesianya yang ia cintai.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar