NEGERI PIYAH
Karya: Sabrina
Putri Aryana
Ayam jago berkokok dengan lantangnya
memecah keheningan pagi hari. Piyah terbangun dari
tidur nyenyaknya. Ia menatap kearah jam dinding yang
menunjukkan pukul 04.15.
“Sebentar lagi subuh” gumam Piyah
Ia turun dari ranjang dan merapikan
tempat tidurnya. Piyah keluar dari kamar, dilihatnya
ibu sedang sibuk memasak di dapur, lebih tepatnya PAWON.
“ibu masak apa?” Tanya Piyah dan mendekat ke arah ibunya.
“masak sayur sama nasi” jawab ibu
tanpa berpaling kearah Piyah.
Piyah
berjalan ke kamar mandi yang terletak di luar rumah. Brrr……
udara pagi dingin sekali. Piyah menatap langit.
“Alhamdulillah, kelihatannya hari
ini akan cerah” batin Piyah.
Ia tak perlu memasukan sepatunya ke
dalam kantong plastik bila turun hujan. Karena Piyah
hanya mempunyai sepasang sepatu.
Piyah
mengambil air untuk wudhu.
“Piyah…..ayo
cepet! Nanti keburu ikomat”
teriak ibu dari dalam. Piyah langsung bergegas.
“Allahuakhbar…” ucap Pak Haji yang
biasanya menjadi imam di langgarnya.
“Assalamualaikum warrahmatullah…assalamualaikum warrahmatullah…”
Mereka melaksanakan shalat subuh dengan khusyuk.
Seusai shalat
subuh, Piyah langsung mandi. Udara masih tetap
dingin, air yang mengalir dari mata airpun terasa
seperti air es. Brrrr……. Dingin,
Setelah mandi Piyah
langsung sarapan. Ia makan dengan lahapnya walau hanya dengan tempe goreng,
tetapi tetap nikmat.
“Piyah….Piyah…” panggil teman-teman Piyah
dari luar rumah.
“Iya sebentar…” jawab Piyah.
Piyah
langsung berlari ke kamarnya untuk mengambil tas, lalu berpamitan dengan bapak
dan ibunya.
“Pak…Buk… Piyah pamit mau berangkat sekolah. assalamualaikum”
“Ya, hati-hati! Waalaikum
salam” jawab Bapak dan Ibu bersama.
Piyah
berlari kearah teman-temannya yang menunggu di depan
rumahnya.
Mereka berjalan dengan riang dan
lincah dijalan yang tersusun dari batu-batu. Mereka menyebutnya “DALAN GULA
KACANG”.
Di samping jalan terdapat pepohonan yang
rindang dan tinggi menjulang ke angkasa. Membuat indah pemandangan.
Jalan gula kacang telah mereka
tempuh. Kini saatnya mendaki dan menuruni bukit yang terjal. Piyah dan teman-temannya bernyanyi dengan riang membuat
lelah tak dirasa. Inilah perjuangan Piyah dan
teman-temannya untuk menuntut ilmu.
Tak terasa Piyah
dan teman-temannya hampir sampai di sekolah.
Dari kejauhan, tampak verdiri dengan gagahnya
tiang bendera dengan bendera yang berkibar di atas sana dengan indahnya. Piyah menatap langit yang berubah menjadi mendung.
“semoga saja hari
ini tidak turun hujan” batin Piyah.
Lalu ia melanjutkan langkahnya ke halaman sekolah. Piyah menghela napas dengan perasaan nelangsa. Sekolah yang
terdapat retakan di dinding banyak sekali. Cat yang warna aslinya sudah tak
terlihat. Di sinilah Piyah bersekolah.
Piyah dan
teman-temannya masuk ke dalam kelas masing-masing. Piyah
duduk di kursinya yang sudah agak rapuh sambil memandang kelasnya yang
menyedihkan.
Atap yang
berlubang, tembok yang catnya pudar, dan terdapat retakan di mana-mana, papan
tulis berlubang, lantai plasteran dan banyak yang
rusak. Inilah kelas mereka.
Tapi ada satu kelas yang masih lumayan bagus. Yaitu kelas 6. Sekolah ini
hanya memiliki 2 guru untuk 6 kelas.
Pak Mus masuk kelas dan langsung menyuruh mereka
mengerjakan tugas.
“Anak-anak… buka buku paketnya! Kerjakan halaman 20,
nomor 1-5” Pak Mus langsung meninggalkan kelas.
Tak lama kemudian, selang 5 menit Pak Mus keluar dari
kelas, hujan turun dengan derasnya. Atap mereka yang berlubang membuat air yang
dengan mudahnya. Buku mereka menjadi basah terkena air hujan.
Pak Mus datang dan menyuruh mereka mengungsi ke kelas
enam yang atapnya tidak bocor. Di kelas 6 ternyata sedang dilatih bernyanyi
lagu ‘Sorak-Sorak Bergembira’ untuk ujian praktik
SBK. Akhirnya, Pak Mus menyuruh mereka semua bernyanyi bersama.
“sorak-sorak bergembira… bergembira semua…”
Piyah
tersenyum senang melihat kejadian hari ini. Meski dengan keadaan yang serba
terbatas, mereka tetap gembira dan bersemangat.
Hingga siang hari tiba. Hujan belum berhenti juga.
Tetapi, Piyah dan teman-temannya harus pulang.
Akhirnya, Piyah mengeluarkan kantong plastik dari
dalam tasnya. Ia melepas sepatunya dan ia masukan ke dalam kantong plastik
tersebut.
“Piyah, kok dilepas to?” Tanya Siti bingung
“Lha nggak papa to!” jawab Piyah lalu tersenyum
“Lha nanti kalau kakimu kenapa-napa bagaimana?” siti
bertanya kembali
“Siti….Siti….
lha aku Cuma punya sepatu ini! Satu-satunya” Piyah tersenyum sambil memperlihatkan sepatunya yang sudah
di dalam kantong.
“Piyah…..Piyah…..”
Siti hanya bisa menggeleng-geleng kepala
Piyah dan
teman-temannya pulang dengan kaki telanjang. Hujan masih turun tapi tak sederas
tadi.
Mereka harus berhati-hati saat berjalan di bukit yang
terjal. Piyah meringis menahan sakit tiap tidak
sengaja menginjak batu-batu kecil yang menancap di jalan itu.
Setelah mereka tiba di jalan gula kacang, mereka langsung
mengaduh-aduh kesakitan, termasuk Piyah.
Piyah dan
teman-temannya berpisah saat hujan bertambah deras. Piah
menaikkan roknya agar ia bisa berlari dan cepat sampai rumahnya. Piyah menaiki tangga yang terbuat dari tangga dengan
lincah.
“Assalamu’alaikum”
Piyah membuka pintu rumahnya dan langsung masuk.
“Waalaikumsalam… aduh,
kehujanan ya. Ganti baju dulu sana!” ucap ibu yang sedang sibuk di pawon.
Piah
berganti pakaian. Ia kemudian duduk di depan tungku yang apinya menyala/
sekarang piyah jauh lebih hangat dari sebelumnya. Di luar
sana petir menyambar-nyambar, hujan semakin deras.
Tiba-tiba hidung Piyah mencium
aroma yang enak. Ia melirik ke arah bapak dan ibunya yang tengah menyantap ubi
rebus hasil panen sendiri. Piyah tersenyum. Ia
bangkit ke arah bapak dan ibunya untuk bergabung menikmati ubi rebus yang masih
hangat.
Saat sedang menikmati ubi rebus, terdengar suara pintu di
ketuk.
Tok……tok……….tok………..
“Pak…..pak….buka pak….” Teriak seseorang dari luar.
Bapak bangkit dari kursi diikuti ibu. Bapak membuka pintu
rumah. Piyah heran, malam-malam yang dingin dan hujan
yang deras ini siapa sih yang bertamu.
“Pak, sekolah anak-anak ambruk” ucap seseorang itu dengan
nada panik.
“lantas bagaimana?” Tanya bapak bingung
“Begini, bapak ikut saya ke rumah Pak Kades
untuk merundingkan persoalan ini” jelas seseorang itu yang ternyata Lek (paman) Yanto.
“ayo pak! Langsung saja. Ibu ikut” ucap ibu yang dari
tadi memperhatikan dengan serius.
“Piyah juga” seru Piyah
Akhirnya mereka berempat berjalan bersama menuju rumah
Pak Kades.
Di rumah Pak Kades ternyata
sudah banyak orang. Piyah juga melihat
teman-temannya.
“Piyah! Sini!” seru Mamat pada Piyah
Piyah
bergabung dan ikut menonton televisi bersama. Sedangkan para orang tua di ruang
tamu. Piyah dan teman-teman menonton berita di
sekilat info. Di sana, ditayangkan tawuran antar desa, pengusaha yang menimbun
bawang, pejabat yang punya rumah di mana-mana, juga yang lainnya.
Piyah bergidig merinding membayangkan pejabat yang rumahnya
banyak, di mana-mana. Memangnya satu rumah dihuni berapa orang sih? Piyah juga membayangkan kalau pejabat mau menyumbangkan
satu rumahnya untuk pengganti sekolah mereka yang ambruk. Pasti teman-teman
akan senang sekali.
Piyah
melirik ke arah ruang tamu. Di sana orang tua Nampak serius.
Esok harinya, setelah sholat
subuh, Piyah melihat ibu sedang sibuk di pawon. Ia mendekati ibunya.
“Masak apa buk?” Tanya Piyah penasaran
“Ngrebus air untuk minum
bapak-bapak nanti” jawab ibu sambil meniup-niup api di tungku.
Piyah,
bapak, dan ibu berjalan besama warga yang lain yang
akan bergotong royong membabangun
kembali sekolah itu.
Setibanya di sekolah, Piyah
menatap sedih. Kursi-kursi dan meja-meja tertimbun bangunan yang roboh.
Bapak-bapak sudah datang dengan sigapnya mengangkat batu
dan reruntuhan tembok.
Tiba-tiba Piyah dicolek bahunya dari belakang. Piyah
membalikkan badannya. Di depan Piyah berdiri 2 orang.
Yang satu mas-mas dan yang satu mbak-mbak.
Yang satu memegang alat yang sering digunakan untuk mensyuting di tv-tv ini, dan yang
satunya memegang Mic.
“Adek? Adek
sekolah di sini? Tahu nggak kenapa sekolah ambruk? Sedih nggak?” mbak-mbak itu
bertanya banyak sekali.
Piyah
hanya menjawab ‘Iya dan Tidak’ sambil terus tersenyum. Piyah
berharap ia akan masuk tv seperti para artis-artis.
Keesokan harinya yang mensyuting
tampak banyak. Banyak juga mobil-mobil berplat merah datang. Katanya sih mereka
pejabat.
Beberapa orang yang mensyuting
ikut membagikan makanan dan minuman untuk para bapak-bapak yang membangun
sekolah.
Piyah
melihat ada beberapa orang yang baru ia lihat di sana. Ia lihat Pak Haji yang
biasa menjadi imam sedang menggotong sak semen bersama orang bermata sipit,
bertubuh gendut, dan berkulit putih. Kelihatannya dia orang China,
kata Lek Yanto namanya Koh Lei, pemilik kebun kopi yang
luas.
Piyah juga
melihat orang berbadan tegap sedang mengangkat batu bata. Sepertinya polisi, di
bajunya juga bertuliskan ‘POLISI SEKTOR’.
“ternyata polisi…” gumam Piyah
sambil memanggut-manggut
Piyah
terenung, ternyata yang ia lihat di tv kemarin tidak benar.
Katanya polisi sering bentrok dengan warga, buktinya ia
lihat polisi sedang gotong royong dengan warga.
Katanya DPR punya rumah di mana-mana, buktinya ikut
membangun sekolah dengan warga.
Piyah
memejamkan mata dan tersenyum. Terdengar suara orang bergotong-royong, suara
tawa riang, thongleret yang bergema……….
“Ahh,……. Indahnya
Indonesiaku” gumam Piyah
Piyah
teringat lagu yang dihafalkan 2 hari sebelum
sekolahnya ambruk. Ia bernyanyi lirih
“TANAH AIRKU TIDAK KULUPAKAN…….KAU
TERKENANG SELAMA HIDUPKU….”
Di desanya, Piyah melihat
Indonesianya yang ia cintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar